Saturday, November 28, 2009

Video Harimau Putih Makan Manusia Gegerkan Warga Bogor



Bogor - Video berisi rekamanan seekor harimau putih sedang memangsa manusia menggegerkan warga Bogor, Jawa Barat. Peristiwa tersebut diduga terjadi di kebun bintang di Indonesia.

Pengamatan detikcom, Sabtu (28/11/2009), dalam video berformat 3GP dengan durasi 2 menit 45 detik itu, tampak seekor harimau sedang memangsa manusia. Korban diduga pria berpakaian mirip seragam satpam berwarna biru donker dengan sepatu boot. Sementara seekor harimau lainnya hanya berdiam diri di sekitarnya.

Pada menit pertama di video itu juga terdengar teriakan sejumlah orang saat harimau tersebut beraksi. "Pergi...pergi...tolong...tolong," demikian suara yang terekam dalam video tersebut.

Suasana di lokasi kejadian yang terekam dalam video tersebut mirip kebun binatang Taman Safari, Cisarua Bogor. Kedua harimau tersebut tidak dikurung dalam sebuah kandang besar, tetapi tampak bebas berkeliaran.

Pada menit kedua, video menampilkan rekaman gambar di sebuah ruangan yang mirip kamar jenazah sebuah Rumah Sakit (RS). Tampak seseorang berkaos polisi dan sejumlah petugas melakukan identifikasi terhadap mayat yang diletakan di atas sebuah meja. Mayat tersebut hanya mengenakan celana panjang berwarna biru donker. Tubuh bagian atasnya mengalami luka yang cukup parah, terutama pada bagian lehernya.

Di video tersebut juga terdengar percakapan sejumlah orang. Sayangnya rekaman percakapan tersebut tidak terdengar jelas. Namun yang pasti, pembicaraan tersebut dilakukan dalam bahasa Indonesia.

'Ini nih...jadinya begini," ujar seseorang dalam pembicaraan yang terekam itu.
(djo/djo)

Senin, 16/11/2009 17:27 WIB Nge-Charge HP Dipenjara Aguswandi Terancam 7 Tahun Bui




Jakarta - Sidang pidana terhadap terdakwa Aguswandi Tanjung digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang diketuai Suroyo mendakwa dengan ancaman hukuman penjara maksimal 7 tahun penjara.

Jaksa membeberkan, korban menggunakan aliran listrik yang diambil di koridor lantai 7 Apartemen ITC Roxy Mas untuk menyalakan lampu, menyalakan televisi dan sebagainya.

Terdakwa mencuri dengan menarik kabel listrik sepanjang 15 meter ke apartemenya. Atas tindak pidana ini, terdakwa diancam hukuman penjara maksimal 7 tahun penjara.

"Atas tindak pidana terdakwa, kami menjerat dengan pasal 363 ayat 1 KUHP tentang pencurian," kata Suroyo dalam sidang di PN Jakpus, Jl Gadjah Mada, Senin, (16/11/2009).

Menurut dia, terdakwa mencuri listrik terhitung sejak bulan Februari 2006. Selain dengan pasal dalam KUHP, jaksa juga menjerat terdakwa dengan UU Ketenagalistrikan.

Menanggapi dakwaan tersebut, terdakwa dan pengacara langsung mengajukan ekspesi. Pembacaan langsung dibacakan usai dakwaan jaksa. Eksepsi/ keberatan atas dakwaan dibuat terpisah antara terdakwa dan kuasa hukumnya, OC Kaligis.

"Saya keberatan atas dakwaan jaksa," kata terdakwa saat akan memulai membacakan eksepsinya.

(asp/irw)

Kamis, 19/11/2009 15:24 WIB Mencuri 3 Buah Kakao, Nenek Minah Dihukum 1 Bulan 15 Hari



Banyumas - Nenek Minah (55) tak pernah menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Bahkan untuk perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.

Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao.

Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.

Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri.

Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja.

Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.

Dan hari ini, Kamis (19/11/2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Selama persidangan yang dimulai pukul 10.00 WIB, Nenek Minah terlihat tegar. Sejumlah kerabat, tetangga, serta aktivis LSM juga menghadiri sidang itu untuk memberikan dukungan moril.

Hakim Menangis

Pantauan detikcom, suasana persidangan Minah berlangsung penuh keharuan. Selain menghadirkan seorang nenek yang miskin sebagai terdakwa, majelis hakim juga terlihat agak ragu menjatuhkan hukum. Bahkan ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH, terlihat menangis saat membacakan vonis.

"Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang," ujar Muslih.

Vonis hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan disambut gembira keluarga, tetangga dan para aktivis LSM yang mengikuti sidang tersebut. Mereka segera menyalami Minah karena wanita tua itu tidak harus merasakan dinginnya sel tahanan.

(djo/nrl)

Kemiskinan dan Hukum yang Membelenggu




Sabtu, 28 November 2009 | 03:38 WIB
Rasuti (65), warga Dukuh Secentong, Desa Kenconorejo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, tak mampu menahan tangis saat puluhan warga memadati rumahnya yang kecil, sekitar 6 x 8 meter persegi, Kamis (26/11) siang. Sambil sesekali menyeka air mata, ia menyalami tamu yang masuk ke rumahnya, yang hanya berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu.
Rasuti adalah ibu dari Manisih (40) dan nenek dari Juwono (16). Manisih dan anaknya, Juwono, merupakan tersangka kasus pencurian buah randu seberat 14 kilogram di areal perkebunan PT Segayung, Desa Semboja, Kecamatan Tulis.
Selain Manisih dan Juwono, dua warga Secentong lainnya juga menjadi tersangka dalam kasus serupa, yaitu Sri Suratmi (19) dan Rusnoto (14). Sri adalah cucu keponakan Rasuti dan telah dipelihara nenek itu sejak usia 1,5 tahun karena kedua orangtuanya meninggal dunia.
Keempat orang itu ketahuan mengambil buah randu pada 2 November 2009 sekitar pukul 08.30 WIB. Mereka tidak mengira bahwa barang senilai Rp 21.000 (harganya sekitar Rp 1.500 per kilogram) itu berbuntut proses hukum.
Bahkan, menurut Manisih, mereka sempat ditahan di Polres Batang sekitar 11 hari dan di Rumah Tahanan Negara Batang sekitar dua pekan. ”Kami mendapat penangguhan penahanan dari Kejaksaan Negeri Batang Kamis (26/11),” ujarnya.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Batang Sang Ketut Mudita, berkas perkara Manisih dan kawan-kawan sudah dinyatakan lengkap dan akan segera dilimpahkan ke pengadilan.
Pihaknya tidak menahan keempat tersangka setelah mempertimbangkan surat dari keluarga dan pendapat jaksa yang menangani perkara itu. ”Meski demikian, Manisih dkk diwajibkan lapor satu pekan sekali,” kata Mudita.
Disambut
Sembari menunggu proses hukum selanjutnya, Manisih, Juwono, Sri, dan Rustono kini kembali bersama keluarga. Kamis siang itu kepulangan mereka disambut puluhan warga desa maupun petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Wanita Omah Perempuan di Kabupaten Batang.
Sebagian dari warga yang menyambut membawakan beras hasil iuran serta sejumlah hasil pertanian lainnya sebagai wujud solidaritas mereka terhadap derita keluarga miskin tersebut.
”Rasanya tidak karuan,” kata Rasuti, saat menunggu kedatangan anak dan cucunya di rumah. Selama ini, tambahnya, Manisih merupakan tulang punggung keluarga. Ia bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Jakarta bersama dengan Sri Suratmi.
Hasil bekerja di Jakarta sebesar Rp 500.000 per bulan selalu dikirimkan ke kampung halaman untuk mencukupi kebutuhan Rasuti serta dua anak Manisih, Juwono dan Rohati (8). Manisih menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya, Asral, meninggal pada awal tahun 2000.
Kasus yang menimpa Manisih sebenarnya juga bermuara pada kemiskinan. Setelah mudik dari Jakarta Lebaran lalu, Manisih dan Sri berencana kembali bekerja di Jakarta.
Namun, saat itu, mereka tidak memiliki uang saku. Bahkan, menurut Manisih, untuk makan sehari-hari mereka sudah kesulitan karena uang hasil bekerja di Jakarta habis.
Itulah sebabnya Manisih berinisiatif pergi ke kebun randu, yang berjarak sekitar empat kilometer dari rumahnya, untuk ngasak atau gresek-gresek (mencari sisa hasil panen randu). ”Saat itu di (tiap) pohon hanya tinggal satu atau dua buah. Kalau masih banyak tidak berani,” ujarnya.
Bersama tiga orang lainnya, Manisih mengaku mendapatkan sekitar 100 buah randu. ”Kalau dijadikan kapas sekitar dua kilogram,” katanya.
Namun, ternyata pemetikan buah randu itu diketahui pemilik pohon. Mereka kemudian dilaporkan kepada polisi sehingga harus berhadapan dengan proses hukum. ”Padahal, ngasak merupakan hal biasa (setelah panen berakhir),” komentar sejumlah warga.
Divisi Hukum Omah Tani, Handoko, berpendapat, muara dari semua persoalan ini adalah kemiskinan yang membelenggu warga. Warga Desa Kenconorejo dan sekitarnya selama ini tidak memiliki pekerjaan tetap dan lahan pertanian. ”Mereka hanya dikepung tanah hak guna usaha yang ditelantarkan,” katanya setengah mengeluh. (WIE)

Sunday, November 15, 2009

PENEMU IKAN BERKEPALA BUAYA MIMPI DAN KESURUPAN




Penemu Ikan Berkepala Buaya Mimpi dan Kesurupan
Penemuan ikan berkepala buaya yang mengejutkan warga Medokan Semampir, Sukolilo, Surabaya tampaknya memiliki nilai mistis bagi pada salah satu penemunya.


Pasalnya, malam hari setelah penemuan ikan tersebut ia bermimpi aneh. Dalam mimpinya, Suwaji (58) disuruh oleh suara misterius agar mengembalikan ikan aneh temuannya.


"Tapi, kalau tidak dikembalikan ia harus memberinya kembang dan dupa," ujar Suwarni (47), rekan Suwaji yang turut menemukan ikan itu, Kamis (12/11/2009) malam.


Tak hanya itu saja, selain mendengar suara misterius, malam itu juga Suwaji juga langsung kesurupan. Tanpa sadar, Suwaji mengamuk dan sempat masuk tambak.


"Dia berteriak-teriak dan ngamuk, kemudian njebur tambak," ujar Suwrani yang asli Pacitan ini.


Akibatnya, karena kondisinya yang masih belum sadar betul, Suwaji pun akhirnya terpaksa dipulangkan ke Jombang.


"Iya, dia memilih untuk berobat dan terapi di daerahnya," tambah Suwarni.


Kini, ikan misterius berkepala buaya masih disimpan di dalam gubuk milik Sulton (59). Ikan aneh ini menjadi tontonan warga.


Di tempat itu juga disediakan kotak amal untuk perbaikan jalan dan jembatan. Ahmad Qosim (33), salah satu warga mengatakan jika dirinya penasaran dan ingin melihat ikan berkepala buaya tersebut.


"Pada mulanya saya sempat tak percaya, tapi setelah saya lihat sendiri ternyata memang ikan itu sangat aneh," ujar Qosim yang datang bersama istrinya.


Article from detik.com via YM

DESA PUCUNG RINTIS DESA ORGANIK

UNGARAN - Desa Pucung Kecamatan Bancak saat ini sedang merintis usaha pertanian berbasis organik. Kegiatan yang dipelopori kelompok tani Pucung Maju yang dipimpin Darojah itu telah menyiapkan lahan seluas kurang lebih satu hektar yang akan digunakan untuk sekolah pertanian organik. “Sekolah itu rencananya dimulai setelah lebaran tahun ini. Semoga itu menjadi rintisan Desa Pucung sebagai desa organik,” kata Darojah dalam press release yang dikirim via electronic mail (e-mail), Senin (7/9).

Menurut Darojah, usaha rintisan ini diawali dengan keberhasilan usaha Kelompok wanita tani Pucung Maju. Hingga tahun ketiganya saat ini, koperasi milik kelompok wanita tani ini telah berhasil mengumpulkan dan membagikan sisa hasil usaha (SHU) senilai Rp 3,5 juta. “Setelah melalui perjuangan dan mengatasi masa-sama sulit di tahun pertama, akhirnya kami mampu memperoleh manfaat dari usaha bersama yang kami rintis,” ujarnya lagi.

Berbekal hasil usaha itulah, Pucung Maju merintis penggunaan pupuk organik untuk usaha pertanian di desa tersebut. Sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Dikatakan, luasan sawah yang masih besar di Desa Pucung merupakan kekuatan yang masih bisa dikembangkan lagi. Dari potensi itu, lanjut Darojah, diusulkan kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan sekolah pertanian organic. Gayung bersambut, usulan itu ditanggapi dengan pemberian bantuan satu ton pupuk organik berupa kompos granul, NPK granul dan pupuk cair lainnya pada Bulan September ini.

Pada tahun pertama ditargetkan terjadi migrasi ke pertanian organik. Pada masa itu diharapkan akan dipetik pengetahuan dan pengalaman berguna sebagai bekal para petani Desa Pucung mengerjakan pertanian organik. “Kami yakin, tahun-tahun pertama akan membutuhkan perjuangan. Namun pengalaman mengelola koperasi yang mampu mengatasi masa sulit itu diawal kegiatan menumbuhkan keyakinan kami,” pungkas Darojah.(***)

Article from koransemarang.com

ANAK MISKIN JUGA BISA KULIAH

Namanya Hendriyadi, kelahiran 12 April 1989. Ia berasal dari Bulukumba, kota kecil berjarak 150 km dari Makasar. Dari tempat tinggalnya, butuh empat jam untuk mencapai ibukota provinsi Sulawesi Selatan ini. Hendri anak pertama dari enam bersaudara. Kehidupan keluarganya terbilang prihatin. Bayangkan, delapan anggota keluarga mesti bertahan hidup dengan uang Rp 500 ribu per bulan. Ayahnya, Bahtiar, tak tamat SD. Ibunya, Supriati, hanya tamat SMP. (”Mungkin pendidikan yang rendah ini membuat keluarga kami terperangkap kemiskinan,” katanya menganalisis). Pasangan ini sama-sama lahir tahun 1969. Bahtiar kini bekerja di tempat penggergajian kayu. Sementara pekerjaan Supriati lebih tak menentu. Ia membantu tetangganya di sawah pada musim tanam atau panen. Dalam keadaan hamil tua ia tetap bekerja, sampai nyaris melahirkan adik bungsu Hendri di sawah. Adiknya ini kini berusia dua bulan. “Hanya sekali seminggu keluarga kami makan ikan. Adik saya sering mengeluh, kenapa kok lauknya daun singkong melulu,” tuturnya padaku. Sebagai anak dari keluarga tak berada, untungnya Hendri tak minder.

Semasa SD, ia berjualan keripik dan kue untuk membantu keluarga. Pulang sekolah, saat teman seusianya bebas bermain, ia justru membantu tetangganya menjajakan es. Tiap mengumpulkan seribu rupiah, ia mendapat upah seratus perak. Saat tamat SMP, Hendri menghadapi pertentangan berat. Ibunya bilang, ia tak sanggup membiayai kelanjutan sekolah Hendri. Diam-diam, Hendri nekad mengambil formulir pendaftaran di SMA, dan berhasil masuk SMA Negeri 1 Bulukumba. Juara umum beberapa kali disabetnya, ditambah mewakili sekolahnya di berbagai perlombaan tingkat kabupaten. Lulus SMA membenturkannya pada masalah baru, yakni tentang kelanjutan pendidikan. Ia memang pantas resah. Nilai rata-rata ujian sekolahnya yang mencapai angka 9,49 tentu lebih dari cukup untuk sekadar mendapat sebuah bangku di universitas. Hendri yang mengambil jurusan IPA ingin jadi peneliti, namun keuangan keluarga tak mampu menyokongnya.

Saat ia sedang berjalan di depan perpustakaan, kebetulan ia mendapati sebuah koran usang yang mencantumkan iklan beasiswa dari sebuah bank swasta. Hatinya pun melonjak oleh harapan. Satu hal yang merisaukannya adalah, ia mesti mengunduh formulir aplikasi di internet. Padahal, hingga saat itu Bulukumba tak punya sambungan internet. Ia pun meminjam uang untuk pergi ke warung internet di Makassar. Formulir sudah terkirim, namun belum ada kepastian nasib. Hendri tetap harus ikut SPMB. Lagi-lagi ia mesti pinjam uang dari temannya yang tinggal di Jogja untuk ikut saringan masuk universitas negeri itu. “Sampai sekarang, utangnya belum saya bayar lho,” cetusnya. Kami bertemu dua kali di Jakarta, dua-duanya di sebuah hotel berbintang.


Aku dan Desi saat Testimoni
Ia tak tampak minder atau mengharap belas kasihan. Hadirin yang berdiri di depannya terdiri dari Deputi Gubernur Bank Indonesia, Duta Besar Malaysia, Presiden Direktur Excelcomindo, Presiden Direktur KSEI, dan jajaran direksi dua buah bank swasta terkenal. Ia menyisipkan kata-kata berbahasa Inggris dalam testimoni singkatnya. Hendri sekarang sudah diterima di jurusan Manajemen, Universitas Trisakti, dan bakal segera mulai kuliah pada akhir bulan ini. Sebenarnya ini pilihan keduanya sesudah jurusan Kimia. “Karena latar belakang ilmu saya IPA, saya harus mengulang belajar dari awal,” paparnya. Tapi, setelah bertandang ke kantor cabang suatu bank, ia mulai berubah pikiran dan ingin jadi ahli akuntan. “Bidang keuangan sepertinya lebih santai, tapi banyak kontribusi yang diberikan pada masyarakat,” simpulnya. Aku menyalaminya seusai acara. Sepertinya saat ini ia sudah bebas merajut mimpi tentang masa depan. Betapa tidak, beasiswanya mencakup kebutuhan yang cukup lengkap. Ada uang kos, uang kuliah, uang administrasi, uang makan, laptop dan biaya internet, biaya pengobatan jika sakit, dan uang makan tiga kali sehari. Nanti bila ia lulus, ia langsung diterima di perusahaan afiliasi bank tersebut. “Saya ingin merubah kondisi keluarga,” tekadnya mantap.

Pembicaraan kami bersamaan simpang-siurnya wacana mengenai kewajiban corporate social responsibility (CSR) dalam beleid perseroan terbatas yang paling anyar. Memandang Hendri, dan 42 anak cerdas lain yang mendapat beasiswa yang serupa, serasa menemukan perhentian yang sejuk. Pada hal yang digelari sebagai CSR inilah mereka bergantung. CSR bukan semata-mata kegiatan bagi-bagi uang sebagai hasil kegiatan usaha, setidaknya buat mereka.

Bila semua perusahaan menerapkannya sebagai wujud dari tanggungjawab mereka, anak-anak seperti Hendri bakal sangat terbantu. Semoga mereka tak dianggap semata sebagai obyek untuk memenuhi kewajiban. Apalagi sebagai penghasil insentif pajak, konsekuensi sepadan dari ‘beban’ melakoni CSR. Saat itu, rasanya susah bagiku untuk menolak penerapan kewajiban CSR bagi tiap perusahaan. Bank swasta itu, yang notabene merupakan penyedia jasa dan bukannya sumber daya alam, tahun ini mengalokasikan lebih dari Rp 3 miliar untuk kebutuhan 43 penerima beasiswa. Hendri, apabila tak dapat beasiswa, bagaimanakah kelanjutan ceritamu? “Saya sudah melamar jadi petugas cleaning service dan pelayan di sebuah rumah makan. Saya mau mengumpulkan uang buat kuliah. Namun sehari sebelum mulai kerja, saya mendapat telepon dari Jakarta,” kenangnya.

Article from kompasiana.com

Saturday, November 14, 2009

MENGABDI DI DESA TERPENCIL

Tuesday, 04 August 2009 22:56
Kecamatan Naringgul berada jauh di ujung selatan Kab. Cianjur, sekitar dua ratus kilometer dari Cianjur Kota. Di SDN Cisoropot Desa Wangunsari, Kec. Naringgul, Kab. Cianjur, Asep Jungjunan, S.Pd.I. ditugaskan sebagai guru sejak awal Januari 2005 hingga sekarang.

"Ketika pertama kali datang di Desa Wangunsari, dari sekian banyak warga, hanya beberapa orang yang lulus SMA. Guru sekolah dasar belum ada yang sarjana, sedangkan animo melanjutkan ke SMP kecil sekali. Seusai tamat SD, anak-anak menjadi buruh tani di sawah," ujar pria kelahiran Bandung, 12 Maret 1965 ini.

Wajar saja animo melanjutkan sekolah begitu rendah karena beberapa desa di Kec. Naringgul, termasuk Wangunsari, belum teraliri listrik dari PLN. Bila ingin menikmati listrik, sedikitnya warga harus menyediakan Rp 4 juta untuk memasang kincir air yang dapat menghasilkan listrik. Jalan menuju kota kecamatan pun sangat terjal dengan kondisi jalan bebatuan, belum tersentuh aspal. Angkutan umum yang ada hanya ojek, itu pun ongkosnya sangat mahal bagi warga yang umumnya buruh tani.

"Melihat kondisi semacam itu, saya kumpulkan warga lulusan SD dan SMP yang ingin menamatkan studinya melalui program Kejar Paket B dan C. Saya bawa mereka ke Cianjur untuk didaftarkan ke PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang membuka ujian paket B dan C. Alhamdulillah sekarang warga yang lulusan SMA sudah banyak, tidak hanya beberapa orang, tapi sudah puluhan bahkan beberapa orang di antaranya ada yang melanjutkan kuliah," ucap ayah tiga anak ini saat dijumpai di kediaman orang tuanya di Kampung Ciajag, Desa Sirnagalih, Kec. Cilaku, Cianjur, Minggu (19/7).

Tanpa pamrih, melalui kerja sama dengan PGRI, Asep kemudian merintis dibukanya taman kanak-kanak, dan saat ini ia tengah berupaya membuka SMP mandiri yang tidak menginduk ke SMP negeri yang jauh letaknya. "Saya hanya merasa prihatin kepada guru pamong yang ditugaskan mengajar di SMP Kelas Jauh di desa kami, mereka harus mengeluarkan biaya banyak bila mengajar. Makanya, kami ingin membuka SMP mandiri dengan guru-guru yang diangkat dari guru SD sekitar desa karena kini umumnya mereka sudah sarjana atau sedang kuliah merampungkan kesarjanaannya," ungkap Asep yang bertekad akan tetap mengabdi di desa terpencil ini.

Ia hanya berharap Bupati Cianjur atau Guberur Jawa Barat menyempatkan datang ke Desa Wangunsari melihat segala ketertinggalan pembangunan. "Ternyata jangan jauh-jauh ke Papua, yang dekat saja, tepatnya di desa kami, ketertinggalan pembangunan sangat terasa. Bila Bapak Gubernur Jabar atau Bapak Bupati Cianjur sudah datang ke desa kami, mudah-mudahan pembangunan desa dan pembangunan sarana pendidikan cepat terlaksana," ujarnya berharap. (Luki Muharam/"Galura")***

Sumber: Harian Pikiran Rakyat

POTRET KEHIDUPAN ANAK JALANAN


Betapa beratnya hidup dari seorang anak jalan, mereka tidak sekolah, tidur di kolong-kolong jembatan, mencari uang di jalanan, dan makan apa adanya. Di usia yang masih sangat dini, mereka (anak jalanan) berusaha mencari nafkah sendiri agar bisa tetap bertahan dari kerasnya kehidupan yang mereka hadapi ini.

Apakah anda tahu, saya harus bangun jam berapa ? supaya saya dapat kardus dan botol air mineral bekas yang banyak, biar tidak rebutan sama teman-teman.
Apakah anda tahu kalo saya dan adik-adik saya pernah tidak makan nasi selama 3 hari ?
Apakah anda tahu kalo adik-adik saya sampe sekarang tidak punya akte lahir ? katanya bikin akte lahir sekarang ini "murah"nya udah ngga ketulungan.
Apakah anda tahu kalo ayah saya pernah berantem sama petugas tramtib hanya karena ingin mempertahankan gerobaknya ?
Apakah anda tahu kami mainnya dimana ? benar kata Bang Iwan bahwa "tanah lapang hanya tinggal cerita, yang nampak mata hanya para pembual saja".

"Sudah seharusnya kita bersyukur bisa hidup lebih baik, lebih nyaman dari mereka. Janganlah sombong dengan harta yang kita punya, kita juga harus membantu mereka yang sedang susah".


article from jodysmoove.blogspot.com