Saturday, November 28, 2009

Kemiskinan dan Hukum yang Membelenggu




Sabtu, 28 November 2009 | 03:38 WIB
Rasuti (65), warga Dukuh Secentong, Desa Kenconorejo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, tak mampu menahan tangis saat puluhan warga memadati rumahnya yang kecil, sekitar 6 x 8 meter persegi, Kamis (26/11) siang. Sambil sesekali menyeka air mata, ia menyalami tamu yang masuk ke rumahnya, yang hanya berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu.
Rasuti adalah ibu dari Manisih (40) dan nenek dari Juwono (16). Manisih dan anaknya, Juwono, merupakan tersangka kasus pencurian buah randu seberat 14 kilogram di areal perkebunan PT Segayung, Desa Semboja, Kecamatan Tulis.
Selain Manisih dan Juwono, dua warga Secentong lainnya juga menjadi tersangka dalam kasus serupa, yaitu Sri Suratmi (19) dan Rusnoto (14). Sri adalah cucu keponakan Rasuti dan telah dipelihara nenek itu sejak usia 1,5 tahun karena kedua orangtuanya meninggal dunia.
Keempat orang itu ketahuan mengambil buah randu pada 2 November 2009 sekitar pukul 08.30 WIB. Mereka tidak mengira bahwa barang senilai Rp 21.000 (harganya sekitar Rp 1.500 per kilogram) itu berbuntut proses hukum.
Bahkan, menurut Manisih, mereka sempat ditahan di Polres Batang sekitar 11 hari dan di Rumah Tahanan Negara Batang sekitar dua pekan. ”Kami mendapat penangguhan penahanan dari Kejaksaan Negeri Batang Kamis (26/11),” ujarnya.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Batang Sang Ketut Mudita, berkas perkara Manisih dan kawan-kawan sudah dinyatakan lengkap dan akan segera dilimpahkan ke pengadilan.
Pihaknya tidak menahan keempat tersangka setelah mempertimbangkan surat dari keluarga dan pendapat jaksa yang menangani perkara itu. ”Meski demikian, Manisih dkk diwajibkan lapor satu pekan sekali,” kata Mudita.
Disambut
Sembari menunggu proses hukum selanjutnya, Manisih, Juwono, Sri, dan Rustono kini kembali bersama keluarga. Kamis siang itu kepulangan mereka disambut puluhan warga desa maupun petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Wanita Omah Perempuan di Kabupaten Batang.
Sebagian dari warga yang menyambut membawakan beras hasil iuran serta sejumlah hasil pertanian lainnya sebagai wujud solidaritas mereka terhadap derita keluarga miskin tersebut.
”Rasanya tidak karuan,” kata Rasuti, saat menunggu kedatangan anak dan cucunya di rumah. Selama ini, tambahnya, Manisih merupakan tulang punggung keluarga. Ia bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Jakarta bersama dengan Sri Suratmi.
Hasil bekerja di Jakarta sebesar Rp 500.000 per bulan selalu dikirimkan ke kampung halaman untuk mencukupi kebutuhan Rasuti serta dua anak Manisih, Juwono dan Rohati (8). Manisih menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya, Asral, meninggal pada awal tahun 2000.
Kasus yang menimpa Manisih sebenarnya juga bermuara pada kemiskinan. Setelah mudik dari Jakarta Lebaran lalu, Manisih dan Sri berencana kembali bekerja di Jakarta.
Namun, saat itu, mereka tidak memiliki uang saku. Bahkan, menurut Manisih, untuk makan sehari-hari mereka sudah kesulitan karena uang hasil bekerja di Jakarta habis.
Itulah sebabnya Manisih berinisiatif pergi ke kebun randu, yang berjarak sekitar empat kilometer dari rumahnya, untuk ngasak atau gresek-gresek (mencari sisa hasil panen randu). ”Saat itu di (tiap) pohon hanya tinggal satu atau dua buah. Kalau masih banyak tidak berani,” ujarnya.
Bersama tiga orang lainnya, Manisih mengaku mendapatkan sekitar 100 buah randu. ”Kalau dijadikan kapas sekitar dua kilogram,” katanya.
Namun, ternyata pemetikan buah randu itu diketahui pemilik pohon. Mereka kemudian dilaporkan kepada polisi sehingga harus berhadapan dengan proses hukum. ”Padahal, ngasak merupakan hal biasa (setelah panen berakhir),” komentar sejumlah warga.
Divisi Hukum Omah Tani, Handoko, berpendapat, muara dari semua persoalan ini adalah kemiskinan yang membelenggu warga. Warga Desa Kenconorejo dan sekitarnya selama ini tidak memiliki pekerjaan tetap dan lahan pertanian. ”Mereka hanya dikepung tanah hak guna usaha yang ditelantarkan,” katanya setengah mengeluh. (WIE)

No comments: